Jumat, 20 Juli 2007

SOSIALISASI SYARIAT ISLAM

Kita meyakini seyakin-yakinnya bahwa semua Umat Islam –dalam hatinya yang paling dalam- pastilah menyadari satu keharusan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka. Namun ketika masuk kepada aspek apa saja dari syariat itu yang akan diterapkan, disini tampak mulai terjadi perbedaan pendapat. Begitu pula, perbedaan semakin kontras lagi ketika diajukan pertanyaan, apakah sudah waktunya menerapkan syariat ataukah belum.

Perbedaan yang kedua ini, lebih kepada soal teknis, sementara yang pertama, bukan masalah teknis tapi masalah prinsipil. Sepanjang masalah teknis, penyelesaiannya tidaklah terlalu sulit, karena ia terkait dengan kondisi riil objektif di masyarakat. Kondisi di luar umat seringkali dijadikan bahan pertimbangan. Kebelumtahuan sebagian Umat Islam akan kebutuhan syariah, juga menjadi bagian dari persoalan teknis.

Diakui, bahwa yang agak sulit memang terjadi dalam arena perbedaan yang pertama. Ini disebabkan wacananya bukanlah wacana waktu, tapi menyangkut masalah perlu tidaknya formalisasi Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Namun demikian, kita berkeyakinan, sesulit apa pun masalahnya dapat diatasi, Insya Allah dengan baik, bilamana sosialisasi secara terus menerus dilakukan terhadapnya. Dalam artian, bagaimana keseluruhan Ajaran Islam itu dapat dijelaskan kepada masyarakat dengan penjelasan yang utuh sesuai dengan ajaran yang sebenarnya tanpa reduksi sedikitpun. Sosialisasi ini penting, karena dengan sosialisasi masyarakat akan semakin familiar dengan Syariat Islam dan sekaligus memiliki ghairah untuk segera menerapkannya.

Justru sosialisasi inilah yang kerap dijadikan daliholeh sementara masyarakat untuk menunda-nunda waktu penerapan Syariat Islam. Kita masih butuh waktu untuk sosialisasi, kata mereka. Dan itu pula yang dijadikan dalih oleh sebagian besar anggota DPR kita yang terhormat, untuk menolak dicantumkannya kembali tujuh kata seperti yang tertera pada Piagam Jakarta.

Dalam masalah sosialisasi, kita sebenarnya memiliki metode-metode dan cara-cara. Kita kaya dengan sumber daya manusia, kita punya institusi kelembagaan yang bukan main banyaknya. Tinggal sekarang bagaimana memobilisasi hal tersebut atau bagaimana mengerahkan sumber daya yang ada sehingga menjadi optimal untukmencapai sasaran.
Bukankah kepada kita telah ditanamkan oleh Rasululah SAW sebuah prinsip kesadaran pribadi dalam berdakwah lewat hadits: “Ballighuu ‘annii walau aayah.” (sampaikan Ajaran Islam walaupun satu ayat). Dan bukankah Allah SWT memerintahkan kita untuk mengajak orang lain ke jalanNya dengan cara yang bijaksana, dengan metode pembelajaran, dan melalui debat, mujadalah (QS. An-Nahl: 125).

Pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran dakwah yang tinggi, dapat secara bersama-sama, berjamaah melakukan kerja dakwah yang lebih terorganisir, dimanage dengan baik sehingga ia menjadi gerakan Amar Ma’ruf Nani Munkar. Inilah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran: 104.

Kita Kaum Muslimin memiliki banyak ruang –yang sekarang terkesan masih kosong- yang dapat difungsikan untuk sosialisasi sejak dari TKA/TPA, Majlis Ta’lim, Remaja Masjid, Kultum, Khuthbah Jum’at, Peringatan Hari Besar, belum lagi arisan keluarga, arisan RT dan sebagainya, seyogyanya dapat dioptimalkan. Dan kalau lembaga-lembaga tersebut dioptimalkan, maka dalam kurun waktu yang tidak begitu lama ke depan Umat Islam, Insya Allah, sudah terbebas dari buta kesadaran terhadap Syariat Islam.

Jadi, sosialisaisi Syariat Islam makin terasa pentingnya karena dengan sosialisasi, perubahan-perubahan sangat dimungkinkan akan terjadi. Orang yang tadinya tidak yakin menjadi yakin, bahkan haqqul yakin. Orang yang tadinya tertutup menjadi terbuka, yang tadinya membenci berubah menjadi mencintai dan seterusnya.

Selama ini ditengarai Syariat Islam di tengah masyarakat masih dalam wilayah “abu-abu”. Wilayah “abu-abu” inilah yang diupayakan untuk menjadi wilayah “putih” dalam target jangka waktu pendek, dan menjadikan wilayah “hitam” menjadi wilayah “putih” dalam jangka panjang, sehingga statemen Allah SWT dalam Al-Qur’an benar-benar mewujud dalam kenyataan: “…dan supaya Agama itu semata-mata untuk Allah.” (Al-Anfal: 39).

Sudah barang tentu harus disadari benar bahwa upaya merubah bukanlah semudah membalik telapak tangan, bukan urusan sehari jadi, tetapi memerlukan waktu dan pentahapan. Rasulullah SAW dalam menempuh perjuangan melalui tiga tahap (marhalah); pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah tatsqif), kedua, tahap interaksi dan perjuangan (mahalah tafa’ul wal kifah), dan ketiga tahap penerimaan kekuasaan (marhalah istilamul hukm). (lihat Manhaj Hizb al-Tahrir fi Al-Taghyiir).

Di sinilah perlunya kesabaran, sabar dalam pengertian sebenarnya, yaitu selalu konsisten dalam menjalankan ajaran Allah dan tabah dalam menerima keadaan dari ketaatan menjalankan perintahNya.

Apa yang diperankan oleh saudara kita kaum Muslimin di AS, yang tergabung dalam Islamic Society of Boston (ISB), adalah satu bentuk kesabaran dalam sosialisasi, dimana delapan hari setelah tragedi runtuhnya WTC di New York mereka menggelar diskusi terbuka untuk itu: Islam dan Terorisme. Di luar dugaan yang hadir lebih dari 1000 orang yang sebagian besar non muslim. Yang menarik adalah ketika dilantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an Al-Maidah 83, maka beberapa orang tokoh agama Nashrani meneteskan air mata mendengarkan bacaan Al-Qur’an, dan beberapa di antaranya ingin mempelajari Agama Islam. Satu diantara Pastor Protestan Fundamentalis , anggota misionaris dari Bible Divinity College menyatakan masuk Islam.

Hasil dari sosialisasi yang dilakukan Kaum Muslimin di AS cukup menggembirakan dimana pertambahan jumlah Kaum Muslimin mencapai 120.000 orang dalam kurun waktu satu tahun pasca tragedi WTC. Khusus Muslimin yang berkulit putih, sebelum tragedi WTC jumlah mereka hanyalah 2 % dari keseluruhan dan menempati ranking ke-5 setelah saudara-saudara kita dari bangsa lain. Tetapi sampai dengan September 2002, jumlah mereka naik menjadi27 %, dan saat ini mereka menempati ranking ke-2 setelah Muslimin kulit hitam.

Hal yang menarik ialah pengakuan Pastor yang akhirnya pindah ke Islam itu, dia menyatakan, “saya tak pernah tahu apa itu Islam kecuali dari pemberitaan-pemberitaan media yang bias. Kini kami terhanyut dengan kata-kata Al-Qur’an yang mengagumkan.” (lebih lanjut lihat majalah Amanah, No. 31 Tahun XVI, Oktober 2002).
Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah sukses di atas adalah, mereka mampu menggugah kesadaran fitrah manusia, dengan pendekatan Qur’ani. Karena Al-Qur’an plus Sunnah Rasulullah itulah pegangan utama Kaum Muslimin, bahkan umat manusia. Oleh karenanya, informasi Al-Qur’an tidak pernah bias. Biasnya informasi terjadi ketika orang mulai menempelkan label-label lain ke dalam Islam, seumpama Islam Liberal, Islam Kultual, Islam Inklusif dan sebagainya.

Al-Qur’an tidak pernah menunjukkan kepada kita label seperti demikian. Al-Qur’an hanya menunjukkan SATU ISLAM kepada Kaum Muslimin sebagaimana firmanNya dalam surat Al-Maidah ayat 3: “pada hari ini aku sempurnakan untukmu agamamu dan kucukupkan nikmatKu untukmu dan Kuridhai Islam sebgai agamamu.” Penambahan label di atas, di samping menimbulkan friksi di kalangan umat, dikhawatirkan akan dinilai Allah SWT sebagai penciptaan “Diin” baru.

Sangat boleh jadi, kelambanan kita dalam menerapkan Syariat Islam disebabkan pendekatan yang dipakai selama ini dalam sosialisasi adalah pendekatan “diin-diin” yang bermacam-macam itu oleh karenanya banyak yang bias. Ke depan, sosialisasi Syariat Islam tidak dapat tidak haruslah menggunakan pendekatan Qur’ani plus Sunnah Rasulullah SAW, agar dengan mudah menyentuh kalbu Umat Islam.
Insya Allah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ANA ANTI SYARIAT ISLAM. STOP MIMPI KHALIFAH ISLAM. STOP PENJAJAHAN ISLAM. LAWAN, LAWAN, LAWAN!!!