Setting sosial Masyarakat Arab ketika Rasululah SAW diutus sangat jahili. Masyarakat Jahiliyah bukalah masyarakat yang bodoh atau belum berperadaban. Tetapi mereka telah mencapai tingkat peradaban yang tinggi pada zamannya. Ekonominya berjalan lancar, sistem sosial telah terstruktur dengan rapih dan sastra berkembang pesat.
Namun semua itu masih berjalan pada dataran sistem dan budaya yang jahiliyah, dalam artian tidak mengacu pada budaya akhlaqul karimah. Jadi, dalam konteks Al-Qur’an, secara garis besar kita mengenal dua sistem sosial; sistem Akhlaqul Karimah dan sistem Jahiliyah.
Konkritnya, sistem dan budaya jahiliyah pada masa Arabiya pra-Muhammad SAW, dicirikan dengan penyembahan berhala sebagai cara mereka mendekatkan diri kepada Allah SWT, merajalelanya budaya ribawi dalam hubungan ekonomi dan perdagangan, pelecehan terhadap perempuan, konflik sosial yang berkepanjangan dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya bagaimana potret masyarakat Jahiliyah kala itu, dapat kita baca dalam QS. Al An’am : 151-152 sebagai berikut:
“Katakanlah, marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu, : Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak di antaranya, maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan (sebab) sesuatu yang benar.”
“ Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang bermanfaat hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati dia kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Alah kepadamu agar kamu ingat.”
Kehadiran Rasululah di belantika sosial Masyarakat Arab jahiliyah pada waktu itu mengemban tugas untuk mengusung perubahan. Merubah mentalitas masyarakat yang semakin dekaden menjadi masyarakat yang berperadaban Islami, sebagai yang beliau nyatakan sendiri: “Sesunguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.”
Akhlaqul karimah secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sistem perilaku yang ditampilkan dalam segala lapangan kehidupan berdasarkan Al-Qu’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan kata lain ia bisa juga disebut sebagai peradaban dimana acuan pertamanya adalah Al-Qur’an Al-Karim. Ha ini sejalan dengan jawaban Umul Mukminin Aisyah RA sewaktu ditanya oleh salah seorang sahabat “Ya Aisyah, bagaimana sebenarnya Akhlaq Rasulullah SAW itu?” Jawab Aisyah, “Akhlaq Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an.”
Dari sini dapat dipahami bahwa Akhlaqul Karimah itu tidak hanya tegur sapa dan sopan santun dalam berhubungan dengan sesama, akan tetapi jauh lebih luas daripada sekedar itu, karena Al-Qur’an memuat petunjuk tentang bagaimana seharusnya berhubungan dengan Allah yang diaplikasikan dalam bentuk aqidah dan ibadah ritual (mahdhah), dan bagaimana pula seharusnya berhubungan dengan semua makhluq yang teraplikasi dalam sistem mu’amalah. Sehingga dengan demikian akhlaqul karimah itu bisa juga dipahami sebagai pandangan hidup atau ideologi yang berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim.
Atas dasar akhlaqul karimah, pandangan hidup atau ideologi seperti itulah, Rasulullah SAW menggerakkan masyarakat Arab pada sebuah perubahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama (lebih kurang 23 tahun), gerakan akhlaqul karimah yang diageni Rasululah SAW berhasil mengharubirukan Jazirah Arabia dari yang semula hitam kelam.
Indikator keberhasilah Rasululah SAW dapat dilihat dari tegaknya Akhlaqul Karimah dalam kehidupan masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal; kultural maupun struktural.
Dari sisi vertikal, terjadi perubahan penyembahan pada Sang Khaliq menjadi murni Tauhidi, hanya menyembah kepada Allah satu-satunya. Prinsip tauhid dengan sendirinya mempengaruhi pola hubungan horizontal mereka dengan sesama, sehinga sistem ekonominya menjadi manusiawi, pedagangnya jujur, budaya politiknya musyawarah, mengharamkan praktek-praktek machiavelistic; seni yang berkembang adalah seni yang membuat orang semakin mengagungkan Allah dan mendekat kepadaNya.
Ringkas kata, keberhasilan Rasulullah SAW setidaknya dapat kita nisbahkan kepada dua hal. Pertama, berkat pertolongan Allah SAW, sesuai dengan janjiNya dalam Al-Qur’an Surat Muhammad : 7, “ Jika kamu menolong Allah, maka Alah akan menolong kamu dan memantapkan posisi kamu.”
Kedua, disebabkan Rasulullah SAW mempunyai landasan yang jelas yakni Al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an memberikan petunjuk mengenai ukuran dan arah perubahan sehingga perubahan itu terukur dan terarah. Al-Qur’an dalam fungsinya sebagai Al-Furqan memberikan patokan dan standar penilaian antara yang ak dan yang batil, benar atau salah, baik atau buruk dan seterusnya.
Belajar dari pengalaman sukses Rasulullah SAW, maka sebuah masyarakat yang ingin merubah diri (terserah pilihan revolusi atau reformasi) mestilah memiliki satu landasan etik yang bagi kita kaum muslimin tiada lain adalah etika Al-Qur’anul Karim atau akhlaqul karimah.
Dengan begitu, disamping perubahan itu benar benar akan terarah menuju sasarannya, yang paling penting Allah akan menyertai perjalanan kita dalam setiap gerak langkah perubahan itu. “Sesungguhnya Allh tidak akan mengubah suatu kaum,sehingga mereka merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. "(QS. Ar-Ra’du: 11).
Jadi, sebuah masyarakat yang melakukan perubahan tanpa landasan etika Qur’ani, tidak akan pernah disertai oleh Allah, dan ketika Allah tidak menyertai maka yang terjadi hanyalah perubahan demi perubahan bukan perubahan demi kemajuan dan perbaikan. Konkritnya, meskipun pertumbuhan ekonominya melaju pesat, tetapi tidak mensejahterakan rakyat; walaupun suasana perpolitikannya terlihat semarak, tetapi sekedar menghantarkan satu atau beberapa gelintir orang ke singgasana kekuasaan lalu diam seribu bahasa; begitu pun penegakkan hukum dan keadilan, hanya sebatas retorika yang tak kunjung dibuktikan; demi kreasi seni orang tidak malu lagi membutakan mata hatinya dari pornoaksi dan pornografi.
Ketika sekelompok masyarakat yang peduli pada Akhlaqul Karimah melakukan himbauan, meeka menjawab persis seperti apa yang diceritakan dalam QS Al Baqarah : 11-12: “Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, maka mereka menjawab, kami hanyalah melakukan perbaikan. Ketahuilah! Sesungguhnya mereka adalah para perusak tetapi mereka tidak menyadarinya.”
Di akhir risalah ini, kami ingin mengutip ungkapan yang menarik dari DR. Yusuf Qaradhawy dalam bukunya, Membangun Masyarakat Baru, halaman 86 sebagai berikut:
“Islam menolak kejumudan (kekakuan) dan menyeru kepada pergerakan yang aktif dan kontinyu; pergerakan yang terencana dan rasional, bukan pergerakan yang merusak, yakni pergerakan seperti air sungai yang beriak dan mengalir pada alirannya, bukan banjir yang mengalir tanpa alur yang terkendali dan tanpa batas. Sungai dan banjir keduanya sama bergerak dan mengalir di air tawar. Akan tetapi sungai memberikan kehidupan, kehijauan dan berkah kemana pun ia mengalir. Sedangkan banjir menimbulkan bencana, kehacuran, kerusakan tanaman dan ternak”.
Demikianlah, semoga Allah SWT selalu menyertai kita –in uriidu illal ishlah mastatha’tu.
Namun semua itu masih berjalan pada dataran sistem dan budaya yang jahiliyah, dalam artian tidak mengacu pada budaya akhlaqul karimah. Jadi, dalam konteks Al-Qur’an, secara garis besar kita mengenal dua sistem sosial; sistem Akhlaqul Karimah dan sistem Jahiliyah.
Konkritnya, sistem dan budaya jahiliyah pada masa Arabiya pra-Muhammad SAW, dicirikan dengan penyembahan berhala sebagai cara mereka mendekatkan diri kepada Allah SWT, merajalelanya budaya ribawi dalam hubungan ekonomi dan perdagangan, pelecehan terhadap perempuan, konflik sosial yang berkepanjangan dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya bagaimana potret masyarakat Jahiliyah kala itu, dapat kita baca dalam QS. Al An’am : 151-152 sebagai berikut:
“Katakanlah, marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu, : Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak di antaranya, maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan (sebab) sesuatu yang benar.”
“ Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang bermanfaat hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sebatas kemampuannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati dia kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Alah kepadamu agar kamu ingat.”
Kehadiran Rasululah di belantika sosial Masyarakat Arab jahiliyah pada waktu itu mengemban tugas untuk mengusung perubahan. Merubah mentalitas masyarakat yang semakin dekaden menjadi masyarakat yang berperadaban Islami, sebagai yang beliau nyatakan sendiri: “Sesunguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.”
Akhlaqul karimah secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sistem perilaku yang ditampilkan dalam segala lapangan kehidupan berdasarkan Al-Qu’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dengan kata lain ia bisa juga disebut sebagai peradaban dimana acuan pertamanya adalah Al-Qur’an Al-Karim. Ha ini sejalan dengan jawaban Umul Mukminin Aisyah RA sewaktu ditanya oleh salah seorang sahabat “Ya Aisyah, bagaimana sebenarnya Akhlaq Rasulullah SAW itu?” Jawab Aisyah, “Akhlaq Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an.”
Dari sini dapat dipahami bahwa Akhlaqul Karimah itu tidak hanya tegur sapa dan sopan santun dalam berhubungan dengan sesama, akan tetapi jauh lebih luas daripada sekedar itu, karena Al-Qur’an memuat petunjuk tentang bagaimana seharusnya berhubungan dengan Allah yang diaplikasikan dalam bentuk aqidah dan ibadah ritual (mahdhah), dan bagaimana pula seharusnya berhubungan dengan semua makhluq yang teraplikasi dalam sistem mu’amalah. Sehingga dengan demikian akhlaqul karimah itu bisa juga dipahami sebagai pandangan hidup atau ideologi yang berdasarkan Al-Qur’an Al-Karim.
Atas dasar akhlaqul karimah, pandangan hidup atau ideologi seperti itulah, Rasulullah SAW menggerakkan masyarakat Arab pada sebuah perubahan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama (lebih kurang 23 tahun), gerakan akhlaqul karimah yang diageni Rasululah SAW berhasil mengharubirukan Jazirah Arabia dari yang semula hitam kelam.
Indikator keberhasilah Rasululah SAW dapat dilihat dari tegaknya Akhlaqul Karimah dalam kehidupan masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal; kultural maupun struktural.
Dari sisi vertikal, terjadi perubahan penyembahan pada Sang Khaliq menjadi murni Tauhidi, hanya menyembah kepada Allah satu-satunya. Prinsip tauhid dengan sendirinya mempengaruhi pola hubungan horizontal mereka dengan sesama, sehinga sistem ekonominya menjadi manusiawi, pedagangnya jujur, budaya politiknya musyawarah, mengharamkan praktek-praktek machiavelistic; seni yang berkembang adalah seni yang membuat orang semakin mengagungkan Allah dan mendekat kepadaNya.
Ringkas kata, keberhasilan Rasulullah SAW setidaknya dapat kita nisbahkan kepada dua hal. Pertama, berkat pertolongan Allah SAW, sesuai dengan janjiNya dalam Al-Qur’an Surat Muhammad : 7, “ Jika kamu menolong Allah, maka Alah akan menolong kamu dan memantapkan posisi kamu.”
Kedua, disebabkan Rasulullah SAW mempunyai landasan yang jelas yakni Al-Qur’anul Karim. Al-Qur’an memberikan petunjuk mengenai ukuran dan arah perubahan sehingga perubahan itu terukur dan terarah. Al-Qur’an dalam fungsinya sebagai Al-Furqan memberikan patokan dan standar penilaian antara yang ak dan yang batil, benar atau salah, baik atau buruk dan seterusnya.
Belajar dari pengalaman sukses Rasulullah SAW, maka sebuah masyarakat yang ingin merubah diri (terserah pilihan revolusi atau reformasi) mestilah memiliki satu landasan etik yang bagi kita kaum muslimin tiada lain adalah etika Al-Qur’anul Karim atau akhlaqul karimah.
Dengan begitu, disamping perubahan itu benar benar akan terarah menuju sasarannya, yang paling penting Allah akan menyertai perjalanan kita dalam setiap gerak langkah perubahan itu. “Sesungguhnya Allh tidak akan mengubah suatu kaum,sehingga mereka merubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. "(QS. Ar-Ra’du: 11).
Jadi, sebuah masyarakat yang melakukan perubahan tanpa landasan etika Qur’ani, tidak akan pernah disertai oleh Allah, dan ketika Allah tidak menyertai maka yang terjadi hanyalah perubahan demi perubahan bukan perubahan demi kemajuan dan perbaikan. Konkritnya, meskipun pertumbuhan ekonominya melaju pesat, tetapi tidak mensejahterakan rakyat; walaupun suasana perpolitikannya terlihat semarak, tetapi sekedar menghantarkan satu atau beberapa gelintir orang ke singgasana kekuasaan lalu diam seribu bahasa; begitu pun penegakkan hukum dan keadilan, hanya sebatas retorika yang tak kunjung dibuktikan; demi kreasi seni orang tidak malu lagi membutakan mata hatinya dari pornoaksi dan pornografi.
Ketika sekelompok masyarakat yang peduli pada Akhlaqul Karimah melakukan himbauan, meeka menjawab persis seperti apa yang diceritakan dalam QS Al Baqarah : 11-12: “Dan apabila dikatakan kepada mereka janganlah berbuat kerusakan di muka bumi, maka mereka menjawab, kami hanyalah melakukan perbaikan. Ketahuilah! Sesungguhnya mereka adalah para perusak tetapi mereka tidak menyadarinya.”
Di akhir risalah ini, kami ingin mengutip ungkapan yang menarik dari DR. Yusuf Qaradhawy dalam bukunya, Membangun Masyarakat Baru, halaman 86 sebagai berikut:
“Islam menolak kejumudan (kekakuan) dan menyeru kepada pergerakan yang aktif dan kontinyu; pergerakan yang terencana dan rasional, bukan pergerakan yang merusak, yakni pergerakan seperti air sungai yang beriak dan mengalir pada alirannya, bukan banjir yang mengalir tanpa alur yang terkendali dan tanpa batas. Sungai dan banjir keduanya sama bergerak dan mengalir di air tawar. Akan tetapi sungai memberikan kehidupan, kehijauan dan berkah kemana pun ia mengalir. Sedangkan banjir menimbulkan bencana, kehacuran, kerusakan tanaman dan ternak”.
Demikianlah, semoga Allah SWT selalu menyertai kita –in uriidu illal ishlah mastatha’tu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar